Read more: http://myhafiezers.blogspot.com/2011/10/membuat-salam-penutup-pada-blogger_29.html#ixzz23OWA4rQH

PENURUNAN KUALITAS EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PESISIR TELUK BANTEN, JAWA BARAT


Oleh : Siti Dewi Barokatul Fadhilah (08161077)

            Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sebanyak 17.504 pulau terbentang dari Sabang sampai Merakue dengan luas keseluruhan mencapai 5.193.250 km2 yang meliputi daratan dan lautan (BPS, 2016). Kurang lebih dua per tiga wilayah Indonesia diselimuti oleh lautan dan sisanya merupakan hamparan daratan yang luas. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang menyebabkan kawasan pesisir yang dimiliki Indonesia sangatlah luas. Ekosistem pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, yang mana di dalamnya terdapat flora dan fauna darat maupun laut yang saling berinteraksi satu dengan yang lain. Salah satu ekosistem pesisir yang banyak ditemukan di perairan Indonesia adalah padang lamun.
            Padang lamun merupakan kumpulan populasi lamun yang berfungsi sebagai penyusun ekosistem pesisir tropis yang memiliki peranan sangat penting dalam kelangsungan ekologi wilayah pesisir. Adapun peranan padang lamun dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan ekostem pesisir, yaitu yang pertama sebagai produsen utama dalam rantai makanan kawasan pesisir. Dimana sama seperti tumbuhan lainnya, padang lamun juga melakukan fotosintesis untuk menghasilkan sumber makanan bagi biota pesisir terutama herbivora. Ia juga memiliki kemampuan dalam menjaga stabilitas substrat  fitoplankton bagi hewan-hewan kecil lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa padang lamun merupakan salah satu pemasok nutrisi yang berpengaruh dalam siklus ekosistem pesisir.
            Lalu secara fisik,  padang lamun berperan sebagai habitat para biota pesisir, seperti ikan kecil, udang, dan organisme lainnya. Dimana mereka dapat menempel dan bernaung untuk tinggal serta berlindung dari bahaya. Selain itu, akar-akar padang lamun juga memegang peranan penting dalam mengikat sedimen dan mendaur ulang berbagai zat hara yang ikut terlarut dalam perairan, sehingga membantu dalam menjernihkan air. Kemudian, lamun juga berpotensi besar dalam menyerap kandungan gas-gas berbahaya yang masuk ke dalam siklus ekosistem pesisir yang dapat memicu timbulnya pemanasan global, seperti gas karbondioksida (CO2), untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang ekstrim. Di samping itu, keberadaan padang lamun yang lebat juga akan berperan aktif dalam menghambat ombak dan arus yang deras menuju ke daratan, sehingga perairan sekitarnya pun menjadi tenang serta mencegah terjadinya erosi.
            Tidak hanya itu, lamun ternyata juga memiliki manfaat yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi manusia. Salah satunya dikarenakan kandungan lignin yang rendah serta kadar selulosa yang cukup tinggi, menyebabkan lamun dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas. Selain itu dalam dunia farmasi, lamun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat-obatan maupun makanan kaya gizi. Akan tetapi untuk saat ini pemanfaatan lamun masih sebatas digunakan dalam pembuatan pupuk kompos dan pakan ternak yang dibuat dari dedaunan lamun yang sudah mengering. Tidak banyak pengembangan terkait produk yang berbahan dasar lamun tersebut.
       Dalam perkembangannya, produktivitas ekosistem lamun di Teluk Banten dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, yaitu pencahayaan, temperatur, dan substrat. Frekuensi tingkat pencahayaan matahari yang masuk ke dalam perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produktivitas populasi lamun. Hal itu dikarenakan lamun membutuhkan cahaya matahari  sebagai salah satu bahan baku utama dalam melakukan fotosintesis. Dimana dari hasil fotosintesis tersebut akan menghasilkan sumber nutrisi bagi para biota pesisir, terkhusus herbivora maupun omnivora pesisir. Untuk mendapatkan pencahayaan yang cukup tidaklah sulit, karena padang lamun dapat dengan mudah ditemui di perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 10 hingga 50 meter, sehingga padang lamun dapat dengan mudah tumbuh di Teluk Banten. Selain itu juga dikarenakan letak negara Indonesia berdekatan dengan garis khatulistiwa, menyebabkan Indonesia beriklim tropis. Hal itu bermakna bahwa sepanjang tahun Indonesia akan selalu disinari oleh cahaya matahari, sehingga itu sebabnya padang lamun disebut sebagai flora pesisir tropis.  Selain itu juga banyak sedikitnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan juga dipengaruhi oleh tingkat kejernihan air laut, sehingga Teluk Banten sangat berpotensi ditumbuhi lamun karena permukaan airnya yang jernih.
            Selanjutnya terkait suhu. Dimana menurut Zieman (1975) dalam Kordi (2011) menjelaskan bahwa  pada umumnya lamun di daerah tropis tumbuh di suhu air antara 20-30ºC sedangkan suhu optimumnya adalah 28-30ºC. Suhu air yang terlalu tinggi akan membahayakan kehidupan lamun. Lamun di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya tingkat produktivitas lamun tersebut. Pada Teluk Banten sendiri suhu berkisar antara 290C sampai 30,40C yang pada umumnya tidak jauh berbeda dengan suhu perairan laut tropis sehingga sangat berpotensi untuk dihuni oleh lamun.
          Pada dasarnya padang lamun dapat hidup pada segala macam jenis sedimen, mulai dari lumpur hingga terumbu karang. Selain itu pada perairan Teluk Banten memiliki struktur tanah yang tersusun atas lumpur, lempung, lanau, dan pasir, sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir Teluk Banten memiliki tipe pantai berlumpur dan berpasir, yang mana kondisi perairan yang seperti itu sangat ideal untuk ditumbuhi oleh lamun. Selain itu daerah sekitar Teluk Banten ini juga terdapat banyak ekosistem terumbu karang yang menjadi salah satu media tumbuh bagi lamun.
            Dari 20 jenis lamun yang tersebar di perairan Asia Tenggara, sebanyak 12 jenis dapat dijumpai di kawasan pesisir Indonesia (Kiswara, 1994). Akan tetapi, pada kenyataannya luas total padang lamun di Indonesia kini mulai menyusut, yang awalnya diperkirakan mencapai 40 persen, kini hanya tersisa 30 persen (Setiawan, dkk, 2012). Hal tersebut ternyata juga terjadi di kawasan pesisir Teluk Banten, Jawa Barat. Dimana menurut Setiawan, dkk (2012) telah terjadi kerusakan padang lamun hingga mencapai 50 hektar atau sekitar 35 persen dari total keseluruhan luas ekosistem lamun (Kiswara, 1994).
             Secara umum, kerusakan ekosistem lamun diduga disebabkan oleh faktor alami dan aktivitas manusia. Faktor alami yang menjadi ancaman terhadap ekosistem lamun yaitu abrasi akibat gelombang pantai dan sedimentasi. Sedangkan faktor lainnya yaitu aktivitas manusia. Ekosistem lamun di Teluk Banten mulai mengalami kerusakan pada Tahun 2000 karena aktivitas-aktivitas masyarakat yang terjadi di kawasan pesisir seperti reklamasi pantai, aktivitas industri, aktivitas dermaga, dan aktivitas nelayan. Namun dalam jangka panjang kerusakan ekosistem lamun memberikan dampak negatif terhadap masyarakat pesisir terutama nelayan karena jumlah ikan di Perairan Teluk Banten semakin berkurang.Rusaknya ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten ditandai dengan perubahan luas ekosistem lamun. Luas ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten di Tahun 2010 seluas 366,9 hektar, akan tetapi dengan meningkatnya aktivitas di sekitar Perairan Teluk Banten mengakibatkan perubahan luas ekosistem lamun di Tahun 2015 menjadi 111,2 hektar (Kiswara, 2004; Pemda, 2013).  Selain itu aktivitas manusia yang menyebabkan rusaknya ekosistem lamu, yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang cenderung merusak (seperti menggunakan bondet dan jaring arad), pengurugan atau penimbunan di kawasan pesisir sebesar 22 hektar yang diperuntukkan untuk reklamasi pembangunan pelabuhan Terminal Gili Mas yang rencananya akan siap di gunakan pada tahun 2019.
       Kerusakan ekosistem di Perairan Teluk Banten termasuk ekosistem lamun akan berdampak pada masyarakat terutama yang tinggal di kawasan pesisir. Dampak negatif yang dirasakan masyarakat yaitu beralihnya mata pencaharian masyarakat yang awalnya berprofesi sebagai pencari kerang dan nelayan pinggiran (nelayan bondet) menjadi nelayan tengah, karyawan pabrik, pencari keong sawah, dan pedagang akibat dari berkurangnya jumlah ikan yang ada di Teluk Banten. Perubahan tersebut mengakibatkan penghasilan masyarakat pesisir semakin berkurang. Ekosistem lamun akan terus-menerus mengalami kerusakan bahkan hilang jika kondisi tersebut dibiarkan sehingga berdampak negatif pada kelangsungan biota-biota laut yang hidup di ekosistem lamun.
       Untuk mengatasi permasalahan degradasi ekosistem lamun, adapun solusi yang berfungsi untuk menjaga kelestarian ekosistem lamun di Teluk Banten diantaranya, yaitu
Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi-fungsi ekosistem lamun. Hal itu perlu dilakukan secara rutin guna menimbulkan rasa peduli, memiliki, dan tanggung jawab antar warga pesisir maupun warga Banten terkait pelestarian dan keberlangsungan ekosistem lamun, sehingga ekosistem tersebut tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk saat ini saja, tetapi juga untuk generasi di masa depan.
       Selain itu juga dilakukan implementasi terkait pelestarian populasi lamun, seperti pelaksanaan kegiatan aksi bersih-bersih lingkungan pesisir untuk menjaga mutu dan kualitas lingkungan. Dalam hal ini tidak hanya masyarakat pesisir saja, akan tetapi perlunya partisipasi aktif dari seluruh warga Banten untuk mengatasinya, seperti melakukan pengelolaan dan pengolahan limbah baik limbah padat (sampah) maupun limbah cair agar tidak ikut terbawa ke dalam perairan dengan cara pembuatan dan pengelolaan IPAL off site atau secara terpusat danpenerapan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) dalam pengelolaah sampahnya guna meminimalisir timbulnya dampak secara langsung bagi lamun.
       Lalu, menginsentifkan kegiatan pengawasan terhadap ekosistem lamun dan daerah pesisir sekitarnya. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama antar pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mengawasi seluruh kegiatan, khususnya yang langsung berdampak pada lingkungan pesisir. Selain itu perlunya penegakan aturan dan sanksi yang tegas bagi para perusak ekosistem, khususnya lamun. Tidak hanya itu, untuk mencegah timbulnya dampak lingkungan maka perlu melakukan penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang mengikutsertakan para stakeholeder (pemangku kepentingan) di dalam pembuatannya dan melakukan publikasi agar seluruh masyarakat mengetahui kondisi eksisting dan serta tata tertib terkait peraturan dan sanksi yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dari solusi yang ditawarkan di atas, diharapkan dapat menjaga kelestarian dan keberlangsungan ekosistem padang lamun di Teluk Banten, Jawa Barat baik untuk saat ini maupun untuk kepentingan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA :
Badan Pusat Statistika. 2012. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990,    1995, 2000 dan 2010. https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas- daerah-dan-jumlah-pulau-menurut-provinsi-2002-2016.html. 3 Maret 2018 (10:20).

Kiswara, W. 1994. Dampak Pelrluasan Kawasan  Industri Terhadap Penurunan Luas             Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir di Serpong. 2-3 Februari 1994.

Kordi, M.G.H. 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak. Andi Offset. Yogyakarta.
Putri, A. Eka. 2016. Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk    Banten. Skripsi. Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor.

Satrya, C., M.Yusuf, M. Shidqi, B. Subhan, D. Arafat, dan F. Anggraeni. 2012. Keragaman Lamun di Teluk Banten, Provinsi Banten. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan             3(2) : 29-34.

Setiawan, F., S. A. Harahap, Y. Andriani, dan A. A. Hutahaean. 2012. Deteksi Perubahan Padang Lamun Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh da Kaitannya dengan            Kemampuan Menyimpan Karbon di Perairan Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan           Kelautan 3(3) : 275-286.

0 komentar:

Posting Komentar