Oleh
: Siti Dewi Barokatul Fadhilah (08161077)
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, sebanyak 17.504 pulau terbentang dari
Sabang sampai Merakue dengan luas keseluruhan mencapai 5.193.250 km2
yang meliputi daratan dan lautan (BPS, 2016). Kurang lebih dua per tiga wilayah
Indonesia diselimuti oleh lautan dan sisanya merupakan hamparan daratan yang luas.
Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang menyebabkan kawasan
pesisir yang dimiliki Indonesia sangatlah luas. Ekosistem pesisir merupakan
kawasan peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, yang mana di
dalamnya terdapat flora dan fauna darat maupun laut yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain. Salah satu ekosistem pesisir yang banyak ditemukan di
perairan Indonesia adalah padang lamun.
Padang
lamun merupakan kumpulan populasi lamun yang berfungsi sebagai penyusun ekosistem
pesisir tropis yang memiliki peranan sangat penting dalam kelangsungan ekologi
wilayah pesisir. Adapun peranan padang lamun dalam menjaga keseimbangan dan
keberlangsungan ekostem pesisir, yaitu yang pertama sebagai produsen utama
dalam rantai makanan kawasan pesisir. Dimana sama seperti tumbuhan lainnya,
padang lamun juga melakukan fotosintesis untuk menghasilkan sumber makanan bagi
biota pesisir terutama herbivora. Ia juga memiliki kemampuan dalam menjaga
stabilitas substrat fitoplankton bagi
hewan-hewan kecil lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa padang lamun
merupakan salah satu pemasok nutrisi yang berpengaruh dalam siklus ekosistem
pesisir.
Lalu secara
fisik, padang lamun berperan sebagai
habitat para biota pesisir, seperti ikan kecil, udang, dan organisme lainnya. Dimana
mereka dapat menempel dan bernaung untuk tinggal serta berlindung dari bahaya. Selain
itu, akar-akar padang lamun juga memegang peranan penting dalam mengikat
sedimen dan mendaur ulang berbagai zat hara yang ikut terlarut dalam perairan,
sehingga membantu dalam menjernihkan air. Kemudian, lamun juga berpotensi besar
dalam menyerap kandungan gas-gas berbahaya yang masuk ke dalam siklus ekosistem
pesisir yang dapat memicu timbulnya pemanasan global, seperti gas
karbondioksida (CO2), untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang
ekstrim. Di samping itu, keberadaan padang lamun yang lebat juga akan berperan
aktif dalam menghambat ombak dan arus yang deras menuju ke daratan, sehingga
perairan sekitarnya pun menjadi tenang serta mencegah terjadinya erosi.
Tidak
hanya itu, lamun ternyata juga memiliki manfaat yang dapat mendatangkan
keuntungan ekonomis bagi manusia. Salah satunya dikarenakan kandungan lignin
yang rendah serta kadar selulosa yang cukup tinggi, menyebabkan lamun dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas. Selain itu dalam dunia farmasi,
lamun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat-obatan maupun makanan
kaya gizi. Akan tetapi untuk saat ini pemanfaatan lamun masih sebatas digunakan
dalam pembuatan pupuk kompos dan pakan ternak yang dibuat dari dedaunan lamun
yang sudah mengering. Tidak banyak pengembangan terkait produk yang berbahan
dasar lamun tersebut.
Dalam perkembangannya,
produktivitas ekosistem lamun di Teluk Banten dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya, yaitu pencahayaan, temperatur, dan substrat. Frekuensi tingkat pencahayaan
matahari yang masuk ke dalam perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
produktivitas populasi lamun. Hal itu dikarenakan lamun membutuhkan cahaya
matahari sebagai salah satu bahan baku
utama dalam melakukan fotosintesis. Dimana dari hasil fotosintesis tersebut
akan menghasilkan sumber nutrisi bagi para biota pesisir, terkhusus herbivora
maupun omnivora pesisir. Untuk mendapatkan pencahayaan yang cukup tidaklah
sulit, karena padang lamun dapat dengan mudah ditemui di perairan dangkal
dengan kedalaman kurang dari 10 hingga 50 meter, sehingga padang lamun dapat
dengan mudah tumbuh di Teluk Banten. Selain itu juga dikarenakan letak negara
Indonesia berdekatan dengan garis khatulistiwa, menyebabkan Indonesia beriklim
tropis. Hal itu bermakna bahwa sepanjang tahun Indonesia akan selalu disinari
oleh cahaya matahari, sehingga itu sebabnya padang lamun disebut sebagai flora
pesisir tropis. Selain itu juga banyak
sedikitnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan juga dipengaruhi oleh
tingkat kejernihan air laut, sehingga Teluk Banten sangat berpotensi ditumbuhi lamun karena
permukaan airnya yang jernih.
Selanjutnya
terkait suhu. Dimana menurut Zieman (1975) dalam Kordi (2011) menjelaskan
bahwa pada umumnya lamun di daerah
tropis tumbuh di suhu air antara 20-30ºC sedangkan suhu optimumnya adalah
28-30ºC. Suhu air yang terlalu tinggi akan membahayakan kehidupan lamun. Lamun
di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur.
Hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya tingkat produktivitas lamun tersebut. Pada Teluk
Banten sendiri suhu berkisar
antara 290C sampai 30,40C yang pada umumnya tidak jauh
berbeda dengan suhu perairan laut tropis sehingga sangat berpotensi untuk
dihuni oleh lamun.
Pada
dasarnya padang lamun dapat hidup pada segala macam jenis sedimen, mulai dari
lumpur hingga terumbu karang. Selain itu pada
perairan Teluk Banten memiliki struktur tanah
yang tersusun
atas lumpur,
lempung, lanau, dan pasir, sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir Teluk Banten memiliki tipe pantai berlumpur dan berpasir, yang mana kondisi perairan yang seperti itu sangat
ideal untuk ditumbuhi oleh lamun. Selain itu daerah sekitar Teluk Banten ini
juga terdapat banyak ekosistem terumbu
karang yang menjadi salah satu media tumbuh bagi lamun.
Dari 20
jenis lamun yang tersebar di perairan Asia Tenggara, sebanyak 12 jenis dapat
dijumpai di kawasan pesisir Indonesia (Kiswara, 1994). Akan tetapi, pada
kenyataannya luas total padang lamun di Indonesia kini mulai menyusut, yang
awalnya diperkirakan mencapai 40 persen, kini hanya tersisa 30 persen
(Setiawan, dkk, 2012). Hal tersebut ternyata juga terjadi di kawasan pesisir
Teluk Banten, Jawa Barat. Dimana menurut Setiawan, dkk (2012) telah terjadi
kerusakan padang lamun hingga mencapai 50 hektar atau sekitar 35 persen dari
total keseluruhan luas ekosistem lamun (Kiswara, 1994).
Secara umum, kerusakan
ekosistem lamun diduga disebabkan oleh faktor alami dan aktivitas manusia.
Faktor alami yang menjadi ancaman terhadap ekosistem lamun yaitu abrasi akibat gelombang pantai dan
sedimentasi. Sedangkan faktor lainnya
yaitu aktivitas manusia. Ekosistem lamun di Teluk
Banten mulai mengalami kerusakan pada Tahun 2000 karena aktivitas-aktivitas
masyarakat yang terjadi di kawasan pesisir seperti reklamasi pantai, aktivitas
industri, aktivitas dermaga, dan aktivitas nelayan. Namun dalam jangka panjang kerusakan
ekosistem lamun memberikan dampak negatif terhadap masyarakat pesisir terutama
nelayan karena jumlah ikan di Perairan Teluk Banten semakin berkurang.Rusaknya
ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten ditandai dengan perubahan luas
ekosistem lamun. Luas ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten di Tahun 2010
seluas 366,9 hektar, akan tetapi dengan
meningkatnya aktivitas di sekitar Perairan Teluk Banten mengakibatkan perubahan
luas ekosistem lamun di Tahun 2015 menjadi 111,2 hektar (Kiswara, 2004; Pemda, 2013). Selain itu
aktivitas
manusia yang menyebabkan rusaknya ekosistem lamu, yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang cenderung
merusak (seperti menggunakan bondet dan
jaring arad), pengurugan atau penimbunan di kawasan pesisir sebesar 22 hektar
yang diperuntukkan untuk reklamasi pembangunan
pelabuhan Terminal Gili Mas yang rencananya akan siap di gunakan pada tahun
2019.
Kerusakan
ekosistem di Perairan Teluk Banten termasuk ekosistem lamun akan berdampak pada
masyarakat terutama yang tinggal di kawasan pesisir. Dampak negatif yang
dirasakan masyarakat yaitu beralihnya mata pencaharian masyarakat yang awalnya
berprofesi sebagai pencari kerang dan nelayan pinggiran (nelayan bondet) menjadi nelayan tengah, karyawan pabrik, pencari keong
sawah, dan pedagang akibat dari berkurangnya jumlah ikan yang ada di Teluk
Banten. Perubahan tersebut mengakibatkan penghasilan masyarakat pesisir semakin
berkurang. Ekosistem lamun akan terus-menerus mengalami kerusakan bahkan hilang
jika kondisi tersebut dibiarkan sehingga berdampak negatif pada kelangsungan
biota-biota laut yang hidup di
ekosistem lamun.
Untuk
mengatasi permasalahan degradasi ekosistem lamun, adapun solusi yang berfungsi
untuk menjaga kelestarian ekosistem lamun di Teluk Banten diantaranya, yaitu
Melakukan
sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi-fungsi ekosistem lamun. Hal itu
perlu dilakukan secara rutin guna menimbulkan rasa peduli, memiliki, dan tanggung
jawab antar warga pesisir maupun warga Banten terkait pelestarian dan keberlangsungan
ekosistem lamun, sehingga ekosistem tersebut tidak hanya dapat dimanfaatkan
untuk saat ini saja, tetapi juga untuk generasi di masa depan.
Selain itu juga dilakukan implementasi
terkait pelestarian populasi lamun, seperti pelaksanaan kegiatan aksi
bersih-bersih lingkungan pesisir untuk menjaga mutu dan kualitas lingkungan. Dalam
hal ini tidak hanya masyarakat pesisir saja, akan tetapi perlunya partisipasi
aktif dari seluruh warga Banten untuk mengatasinya, seperti melakukan pengelolaan
dan pengolahan limbah baik limbah padat (sampah) maupun limbah cair agar tidak
ikut terbawa ke dalam perairan dengan cara pembuatan dan pengelolaan IPAL off site atau secara terpusat danpenerapan
3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) dalam pengelolaah sampahnya guna
meminimalisir timbulnya dampak secara langsung bagi lamun.
Lalu, menginsentifkan kegiatan pengawasan
terhadap ekosistem lamun dan daerah pesisir sekitarnya. Dalam hal ini perlu
adanya kerjasama antar pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mengawasi seluruh
kegiatan, khususnya yang langsung berdampak pada lingkungan pesisir. Selain itu
perlunya penegakan aturan dan sanksi yang tegas bagi para perusak ekosistem,
khususnya lamun. Tidak hanya itu, untuk mencegah timbulnya dampak lingkungan
maka perlu melakukan penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
yang mengikutsertakan para stakeholeder
(pemangku kepentingan) di dalam pembuatannya dan melakukan publikasi agar
seluruh masyarakat mengetahui kondisi eksisting dan serta tata tertib terkait peraturan
dan sanksi yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dari solusi yang ditawarkan
di atas, diharapkan dapat menjaga kelestarian dan keberlangsungan ekosistem
padang lamun di Teluk Banten, Jawa Barat baik untuk saat ini maupun untuk kepentingan
di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA :
Badan
Pusat Statistika. 2012. Penduduk Indonesia menurut
Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan
2010. https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas- daerah-dan-jumlah-pulau-menurut-provinsi-2002-2016.html. 3
Maret 2018 (10:20).
Kiswara, W. 1994. Dampak Pelrluasan Kawasan Industri Terhadap Penurunan Luas Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat.
Seminar Nasional Dampak Pembangunan
Terhadap Wilayah Pesisir di Serpong. 2-3 Februari 1994.
Kordi, M.G.H. 2011. Kiat
Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak. Andi Offset. Yogyakarta.
Putri, A. Eka. 2016.
Penilaian Ekonomi Kerusakan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Banten.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor.
Satrya, C., M.Yusuf, M. Shidqi, B. Subhan, D. Arafat, dan
F. Anggraeni. 2012. Keragaman Lamun
di Teluk Banten, Provinsi Banten. Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan 3(2)
: 29-34.
Setiawan, F., S. A. Harahap, Y. Andriani, dan A. A.
Hutahaean. 2012. Deteksi Perubahan Padang
Lamun Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh da Kaitannya dengan Kemampuan Menyimpan Karbon di
Perairan Teluk Banten. Jurnal Perikanan
dan Kelautan 3(3) : 275-286.
0 komentar:
Posting Komentar